
Hello Kebaya Lovers!
TENTU kalian sudah tau ya, kebaya secara resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO pada 4 Desember 2024 lalu. Wahhh, sebagai orang Indonesia, tentu kita tentu happy! Kebaya diakui sebagai warisan budaya dilaksanakan melalui mekanisme joint nominations atau kolektif oleh lima negara ASEAN, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari kontribusi banyak pihak. Salah satunya adalah Komunitas Perempuan Berkebaya (KPB) yang terbentuk pada penghujung tahun 2014. KPB diinisiasi sejumlah wartawan dengan empat pendirinya, Telly Nathalia, Kristin Samah, Rahmi Hidayati, dan Tuti Marlina. Mereka mempopulerkan kembali kebaya menjadi pakaian sehari-hari.
Komunitas ini pun aktif melakukan kampanye dan mengajak berbagai kalangan untuk kembali mengenakan kebaya di berbagai kesempatan baik formal dan informal. Mereka mengenakan kebaya sehari-hari, bahkan komunitas ini berani “melanggar” pakem berkebaya. Berkebaya tak lagi harus tampil rapih dengan sanggul dan selop tapi dipadankan dengan sepatu kets dan backpack untuk beraktivitas dengan mobilitas tinggi. Penggunaan kainnya-pun tak lagi rapat melilit tubuh tetapi dikenakan rapih dan leluasa bergerak.
Kebaya Lovers!
Telly Nathalia, akrab disapa Lia seperti dikutip dari Buku Kebaya Kaya Gaya (Penerbit Buku Kompas, 2023) menceritakan awal berdirinya Komunitas Perempuan Berkebaya (KPB) yang kini dia ketuai. Di suatu hari Minggu yang cerah, 12 perempuan berkumpul di rumah salah seorang di antara mereka. Sebelumnya mereka sepakat untuk berkebaya dan berkain di hari itu. Luar biasa! Kenapa? Karena mereka adalah wartawan dan mantan wartawan yang sehari-hari berpakaian kasual dan praktis, boro-boro terpikir berkebaya dan berkain kecuali ke acara khusus, seperti pesta perkawinan.
Semarak sekali suasana hari itu, apalagi waktu mereka berfoto bareng di beberapa sudut rumah yang asri: kebun, teras, ruang keluarga. Foto di kebun jadi yang paling epik. Foto itu jadi kebanggaan mereka sampai bertahun-tahun kemudian.
Acara kumpul-kumpul tersebut tidak berhenti di situ. Muncul gagasan untuk membentuk sebuah komunitas Perempuan Berkebaya. Gayung bersambut, sebuah grup Whatsapp (WAG) dibuat pada awal Desember 2014 beranggotakan beberapa orang yang senang berkebaya. WAG ini dibuat supaya mereka dapat lebih fokus pada gerakan berkebaya dan berkain.
Melihat antusiasme berbagai kalangan terhadap gerakan berkebaya dan berkain ini, anggota WAG (yang waktu itu belum bernama Perempuan Berkebaya) mengadakan rapat pleno pada pertengahan Januari 2015.
“Nama Perempuan Berkebaya disepakati menjadi nama grup tersebut yang bersifat komunitas pada tanggal 13 Januari 2015 di rapat kerja pertama grup atau komunitas ini,” ujar Lia.
Dari awalnya hanya ingin berkebaya, ungkap Lia, KPB pun akhirnya menyusun visi yakni pelestarian budaya Indonesia, sedangkan misinya adalah menggali dan mempromosikan busana-busana daerah. Berdasarkan visi dan misi ini, kebaya atau berkebaya hanyalah langkah awal untuk mempromosikan busana daerah dari seluruh Indonesia. Pertimbangan lain adalah karena kebaya digunakan sebagai busana perempuan di hampir seluruh Indonesia.
Kebaya Lovers!
Di awal berdirinya komunitas ini, para anggota memilih berkampanye lewat medsos. Secara sendiri-sendiri atau bersama, mereka sering mengunggah foto-foto saat berkebaya dan berkain. Mereka ingin menunjukkan bahwa kebaya bisa dipakai untuk pakaian sehari-hari untuk segala kegiatan.

“Saya bisa lho naik KRL, bis, ojek, sampai bajaj dengan berkebaya dan berkain,” kata Lia tertawa. Wartawan media asing ini bahkan tetap berkebaya dan berkain saat tugas atau jalan-jalan ke luar kota dan ke luar negeri.
“Kami mengajarkan padu padan kebaya dan kain, sepatu dan sebagainya yang bisa menjangkau semua kalangan dengan fleksibel. Kegiatan kami dibuat sekreatif mungkin agar menarik minat banyak kalangan, termasuk piknik berkebaya, jalan santai berkebaya, traveling berkebaya, dan membuat bervariasi tantangan, termasuk membuat kegiatan seperti diskusi buku,” lanjut Lia.
Selama sekitar 10 tahun berkampanye, Lia dan teman-temannya tidak menemukan banyak kendala. Itu karena mereka merasakan kegembiraan bisa sama-sama berbagi kebahagiaan melalui berkebaya dan berkain. Perasaan bahagia itu meringankan langkah mereka saat berkampanye.
“Selama berkampanye tidak terlalu banyak kendala yang dihadapi. Memang sudah waktunya semesta mendukung kampanye kebudayaan Indonesia,” tegas Lia.
Salah satu capaian yang membanggakan bagi KPB adalah Selasa Berkebaya yang ikut digaungkan komunitas ini. Gerakan ini diinisiasi oleh komunitas Krida Dhari pada tahun 2019. Sejak itu, walaupun tidak diwajibkan, berbagai kalangan – ASN, pegawai swasta, pekerja kreatif, dan lain-lain – mengenakan kebaya dalam kegiatan mereka di hari Selasa.
Beragam kegiatan lain yang dilakukan KPB selama kurun waktu 10 tahun sejak 2014 tidak melulu soal berkebaya dan berkain. Komunitas ini juga melibatkan diri dalam mengkampanyekan unsur budaya lain, seperti kuliner, tari-tarian dan musik tradisional. KPB juga mengajak anggota-anggotanya dan komunitas-komunitas lain pergi ke museum dan perpustakaan untuk memperkenalkan budaya literasi dan pengenalan sejarah. Wahhh keren ya KPB! Salut sama mbak-mbak yang telah berjuang menggerakkan gerakan berkebaya. Bravo!