Oleh Atie Nitiasmoro

Hello Kebaya Lovers!

JIKA mendengar kata Semarang, apa yang terbersit di benak kalian ? Bandeng presto, lumpia nan lezat atau bangunan kuno Lawang Sewu ? Ya, nggak salah, Semarang memang identik  dengan tiga hal itu. Namun ada satu tempat ikonik yang identik dengan Semarang. Apakah itu ?

Bangunan Hindia Belanda bercat putih yang  kokoh dan  terawat  di jalan Pemuda Semarang ini, bisa dibilang seperti museum yang penuh barang kuno bersejarah, foto-foto  dan kliping koran jadul yang dibingkai.  Hanya   bedanya disini, kita bisa sekaligus menikmati aneka es krim, kue-kue dan makanan berat lezat yang konsisten diracik dari resep kuno puluhan tahun silam, perpaduan  cita rasa bumbu Eropa, Jawa, dan sedikit Tionghoa.

Toko Oen, resto yang menjadi legenda Kota Semarang. Begitu kaki melangkah masuk ke dalam resto yang sudah beroperasi  selama 85 tahun,  romantisme masa lalu langsung menyergap melalui interiornya yang bernuansa kolonial. Atap ruangan, pintu dan jendela  tinggi serta lebar, khas bangunan Indische. Kursi-kursi rotan dengan meja bulat untuk menikmati panganan. 

Aroma wangi  kue yang baru keluar dari panggangan, es krim  dan toples-toples besar berisi kue kering serta etalase aneka cake dan roti begitu menggoda. Seperti berebut perhatian dengan berbagai pernak pernik yang tertata rapi. Akhirnya saya memutuskan memesan dulu secangkir teh panas, poffertjes dan es krim Tutti Frutty. Sambil menunggu pesanan datang, berkelilinglah saya menikmati berbagai benda bersejarah.

Saya langsung melihat mesin penyimpan sekaligus penghitung uang koin bernama Guldens Cents. Anak  saya Abishai Sahadeva,  antusias memperhatikan dan menarik tuasnya dengan hati-hati. Jam besar di salah satu sudut dekat jendela, mengingatkan saya pada rumah masa kecil di Jember dan Tuban, ketika suara jam berdentang tengah malam dikala susah tidur, membuat suasana sedikit gimanaaa……….gitu.

Berbagai foto dan kliping koran lawas baik lokal maupun Belanda mengenai Toko Oen memenuhi sebagian dinding resto yang ditata artistik oleh Jenny, penerus bisnis keluarga yang juga seorang arsitek. Kita bisa melihat foto kota lama Semarang, foto pendiri Toko Oen, berita  mengenai Toko Oen di koran-koran  saat  berjualan di Denhaag Belanda yang laris manis.

Kebaya Lovers!

Saya beruntung bisa ngobrol dengan Jenny. Dia mengatakan, merawat Toko Oen bukan hanya upaya untuk melanggengkan bisnis keluarga, tapi juga mengawetkan kenangan dan  sejarah masa lalu. “Pilihan mempertahankan orisinalitas Toko Oen dilakukan setelah melalui pergulatan panjang di tahun 1980-an dan dengan cepat mendapat banyak pelanggan dari berbagai kalangan,” papar Jenny.

Jenny, pemilik yang merupakan generasi ketiga Toko Oen

Managemen Toko Oen dikendalikan Alexandra & Alexandro, generasi ke 4,putra putri Jenny. Ditangan mereka, modernisasi penjualan dilakukan seperti membuka outlet di mall khusus untuk es krim dan kue-kue, penjualan melalui online dan media sosial yang saat ini  menjadi keharusan. Membuat berbagai kue dan makanan masa kini tetapi tetap dipadu dengan resep kuno warisan keluarga. Karena itu Jenny optimistis  bisa menggenjot bisnisnya dan meraup pasar anak milenial.

Toko Oen juga membuka kedai es krim  di Kawasan Kota Lama Semarang Jalan Empu Tantular, berkolaborasi dengan  Gabungan Koperasi Batik Indonesia {GKBI}. Bertempat di gedung tua yang eksotik milik GKBI dengan mengusung tema “Oud En Niew” yang memiliki arti,  Kuno, Kini dan Nanti.

Jenny mengatakan, sejarah tidak untuk dilupakan tetapi dipertahankan.  Pemilihan tempat di kawasan kota lama juga untuk menyelamatkan bangunan  yang jarang dilirik masyarakat.

Selama ini  pelanggannya kebanyakan orang-orang tua. Namun ada juga para cucu yang dulu  kakek atau neneknya sering makan di Toko Oen. Siang itu saya bertemu keluarga yang datang ke Toko Oen karena membaca buku harian sang kakek yang sering menulis Toko Oen. Mereka datang untuk merasakan tempat kakek neneknya bersantap dan hangout hingga akhirnya menjadi pelanggan tetap.

Toko Oen pertama dibuka di Yogyakarta. Awalnya, sang pendiri, Liem Gien Nio, menjual kue kering sekitar tahun 1910. Nama Oen diambil dari nama suami Liem, yaitu Oen Tjoen Hok. Pada 1922, Toko Oen mulai menjual menu tambahan berupa es krim, serta masakan Indonesia, China, dan Belanda.

Selanjutnya pada 1934, Toko Oen membuka cabang di Jakarta dan Malang, berlanjut pada 1936 di Semarang. Namun pada 1937, Toko Oen di  Yogyakarta tutup karena kerepotan mengelolanya. Menyusul  Toko Oen cabang Jakarta tutup pada tahun 1973. Sedangkan, Toko Oen cabang Malang dijual pada tahun 1990 dan dikelola oleh pemilik baru meski masih menggunakan nama yang sama. Sebelumnya Toko Oen Malang akan dibuat bengkel mobil oleh pembelinya, namun dilarang oleh Pemda setempat karena bangunan tersebut merupakan cagar budaya.

Nah Kebaya Lovers, kalau kalian penasaran dengan rasa makanan dan suasana Toko Oen, jika kebetulan ke Semarang sempatkanlah mampir untuk merasakan aura jaman kolonial Belanda. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *