Hello Kebaya Lovers!

KEBAYA Labuh merupakan kebaya tradisional yang telah dikenal sejak zaman kerajaan Linggau-Riau dengan ciri-ciri kebaya panjang dan bukaan di depan sampai bawah lutut dan mempunyai “kekek” di bawah ketiak kiri dan kanan, juga berpesak di bagian depan.

“Kekek” adalah tambahan sambungan bahan berbentuk segitiga yang dijahit di bawah ketiak kiri dan kanan, yang berfungsi untuk melonggarkan baju sehingga pemakai lebih leluasa melakukan aktifitas atau bergerak. Sedangkan “pesak” di bagian depan baju juga untuk melonggarkan pakaian dan berfungsi sebagai tempat memasang kancing baju.

Seperti ditulis dalam Buku Kebaya Kaya Gaya yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2023, kebaya Labuh menggunakan tiga kancing yang dihias dengan bros atau keronsang dan bisa dilengkapi dengan selendang. Kebaya Labuh biasanya terbuat dari bahan polos maupun bermotif flora sesuai dengan selera pemakai. Di masa lalu, bahan untuk kebaya Labuh menggunakan kain tenun tangan tetapi saat ini bisa menggunakan kain yang ringan tetapi tidak transparan seperti sutra, taffeta, satin dan bahan lain yang memberi kesan mewah.

Dikutip dari resentasi Ibu Mellyana Anggraini pada acara Workshop Nominasi Kebaya ke UNESCO dari Dekranda Kepulauan Riau, kebaya Labuh di Lingga dikenakan sebagai pakaian sehari-hari kaum perempuan Melayu. Kebaya ini dipakai dengan kain batik yang diikat dengan cara lipatan sebelah kanan menutup sebelah kiri. Kebaya Labuh juga dijadikan pakaian pengantin tradisional Melayu Lingga. Untuk melengkapi kebaya Labuh, bisa dipakai tudung lingkup atau tengkuluk yang menggunakan sehelai kain sarung untuk menutup kepala dan dada. Pada masa kini, kebaya Labuh dipakai oleh kaum perempuan pada acara tertentu seperti majelis adat istiadat atau pun hari raya.

Kebaya Lovers!

Kebaya Labuh mulai popular sejak diperkenalkan pada abad ke 16 oleh bangsa Portugis yang masuk ke negeri Melaka. Baju ini juga disebut baju belah labuh besar dan dianggap sebagai jenis pakaian perempuan tertua di tanah air. Menurut Amjor Dato’ Haji Mohd. Sa’id bin Haji Sulaiman di dalam bukunya “Pakai Patut Melayu”, baju kebaya pada dasarnya berasal dari Jawa dan biasa dipakai oleh perempuan Jawa. Di Tanah Melayu, kebaya “Jawa” mengalami modifikasi menjadi kebaya Labuh yang memiliki “kekek” dan “pesak”.

Kebaya Labuh mampu bertahan dari generasi ke generasi meskipun mengalami beberapa modifikasi tapi bentuk dasar asli labuh tetap bertahan hingga kini. Pada saat belum ditemukan mesin jahit, kebaya Labuh dijahit dengan menambahkan potongan kain berukuran bidang kecil untuk melonggarkan pakaian sehingga memberikan kenyamanan bagi si pemakai.

Tambahan potongan bahan ini dinamakan “pesak” dan “kekek”. Teknik penjahitan masih menggunakan teknik manual yakni jahitan jelujur, sembat, dan tindih kasih. Bagian potongan lengan dan “kekek” dijahit menjadi satu, baru kemudian dirapatkan dengan bagian badan. Selanjutnya disambung bagian pesak depan dan belakang hingga ke bagian leher / kerah / tengkuk, dilanjutkan dengan tusuk sembat dan tindih kasih di bagian kerah.

Nah, ciri utama kebaya Labuh adalah bentuknya harus longgar dan panjang. Ciri-ciri kebaya Labuh dari daerah Kepulauan Riau hampir mirip dengan ciri-ciri kebaya panjang Basiba Minang dan kebaya panjang Kartini.  Keduanya memiliki kesamaannya antara lain, tidak menggunakan bahan terawang, tidak tipis atau transparan, lebih menutupi aurat dengan potongan pola yang tidak terlalu pas badan dan dilonggarkan dengan penambahan “pesak” kiri dan kanan.

Persamaan lainnya adalah menggunakan “kekek” persegi atau “tapak tahu” tapi bisa juga menggunakan pesak, panjang baju melewati lutut dan labuh ke bawah, menggunakan “pesak” tengah atau sering disebut “klepet” pada pola kebaya yang mana pesak tersebut dapat dilipat menjadi bentuk klepet.

Dua ciri lainnya adalah, kebaya Labuh dipakai dengan bros kerongsang ataupun bros susun “ibu dan anak” atau bros tiga tingkat dan sebagai bawahannya, kebaya labuh bisa dipadukan dengan tenun, songket, batik, telepuk, dan wastra lainnya serta bisa dilengkapi dengan selendang, selempang panjang, tudong manto ataupun tudong lingkup.

Kebaya Labuh telah tercatat sebagai  Warisan Budaya Tak Benda di UNESCO bersama empat negara serumpun, yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand.  Sebagai bentuk dukungan pada kebaya Labuh,  perempuan di kantor Dispudpar Riau mengenakan kebaya ini setiap hari Jumat.

Kebaya Labuh tetap dikenakan dalam berbagai kesempatan sebagai busana pada acara adat besar di daerah, sebagai busana pernikahan dan acara resepsi pernikahan, dipakai oleh pengantin secara adat di Kepulauan Riau, sebagai pakaian penari Tarian Baku Tari Persembahan untuk penyambutan tamu sesuai arahan dari Lembaga Adat Melayu Propinsi Kepulauan Riau.

Selain itu kebaya Labuh juga dikenakan sebagai kostum dalam seni pertunjukan seperti nyanyian, tarian penyambutan Makan Sirih, teater Bangsawan, dan teater Mendu, seragam ASN dan karyawan swasta di Provinsi Riau setiap hari Jumat dan digunakan sebagai program pembelajaran teknik menjahit kebaya Labuh untuk melestarikan ragam kebaya ini dan “mewariskan” ke generasi penerus, dalam kurikulum sekolah kejuruan (SMK) Jurusan Tata Busana.

Wah menarik sekali ya Kebaya Lovers! Jadi makin tertarik ikutan mengenakan kebaya Labu nggak sih? Sepertinya kebaya ini terlihat simpel namun tetap feminin. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *