
Hello Kebaya Lovers!
NAMA Emi Wiranto dikenal sebagai pengusaha, pengacara, pegiat budaya yang juga memiliki kegiatan filantropi. Kepedulian pendiri rumah budaya Sekar Ayu Jiwanta (SAJ) pada usaha pelestarian budaya Indonesia ini membuatnya ikut bergabung dalam Tim Nasional Kebaya UNESCO berdasarkan Surat Rekomendasi Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek.
Bekerjasama dengan Kemendikbudristek, sebagai pendiri dan Ketua Sekar Ayu Jiwanta, Emi bersama dengan 10 komunitas lainnya menyelenggarakan side program workshop lima negara ASEAN pengusung kebaya ke UNESCO Februari 2023 lalu di Jakarta.
Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand sepakat mengusulkan kebaya melalui mekanisme bersama atau joint nomination ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO dan mengadakan lokakarya untuk pengisian bersama naskah nominasi kebaya.
Dalam kesempatan tersebut juga diadakan pagelaran dan pameran kebaya Indonesia dari berbagai daerah.
Kepedulian Emi membantu sesama dituangkan dalam berbagai program di SAJ yang anggotanya mencapai 240 orang.
“Tidak sulit untuk menarik orang bergabung dengan SAJ. Keanggotaan kami bersifat sukarela dengan prinsip saling menghargai dan memiliki visi yang sama yakni mempromosikan budaya Nusantara dan bergerak di bidang sosial,” tutur perempuan kelahiran 1971 ini seperti dikutip dari Buku Kebaya Kaya Gaya yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK, 2023).
Wah, sangat menginspirasi ya, Mbak Emi!
Kebaya Lovers!
Berbagai kegiatan sosial digagas Emi melalui SAJ yang didirikan pada 2018 lalu, di antaranya menyiapkan 2.000 makanan per hari dibantu 33 anggota Brimob, memfasilitasi vaksin dan menyediakan vitamin gratis untuk masyarakat kurang mampu saat pandemi Covid-19 melanda. Tak hanya itu, Emi dibantu donatur lain turut membantu korban gempa bumi Cianjur 21 November 2022.
“Anggota SAJ terjun langsung ke lapangan saat membantu masyarakat yang membutuhkan. Ketika pandemi Covid-19 melanda, ada nelayan yang memberi saya 10 ekor ikan hasil tangkapan untuk disumbangkan, ada yang nyumbang dua kilogram telur. Saya berpikir, orang yang enggak mampu aja tergerak hatinya untuk menolong, harusnya yang kaya jangan cuma ngumpet di rumah,” papar Emi.
Usaha Emi tidak sampai di situ. Nelayan yang penghasilannya menurun tajam saat pandemi Covid-19 karena hasil tangkapannya tidak ada yang membeli ia tampung, dijadikan salah satu bahan untuk dimasak. Selain itu, Emi juga membantu para penjahit di Bali yang kehilangan pendapatan akibat pandemi dengan cara memesan kebaya untuk dijual kepada anggota SAJ.
“Bayangkan saja, penjahit ini punya anak balita, karena pandemi enggak ada uang untuk beli susu. Jadinya anaknya minum air gula,” tutur Emi.
Saat itu, lanjut Emi, ia membayar ongkos jahit Rp 10-30 ribu per kebaya dan kainnya disubsidi. Hasilnya, ia dan komunitas SAJ mampu membantu penjualan 250 potong.
Kebaya Lovers!
Kecintaan Emi pada kebaya bukan saat busana tradisional ini tengah diperjuangkan untuk bisa diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda bersama empat negara lainnya, yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sejak lama ia membiasakan diri mengenakan kebaya dalam berbagai kesempatan, khususnya saat menghadiri acara resmi, seperti wisuda anaknya di Amerika Serikat dan dalam kegiatan sehari-hari.
“Sejak kecil saya tertarik dengan segala sesuatu yang terkait dengan kain batik (batik yang asli) dan kemudian dipadankan dengan kebaya. Jadi sudah lama saya suka kebaya padahal saya dibesarkan di lingkungan etnis China dan tidak ada figur yang menjadi panutan di keluarga yang memakai kebaya,” kata Emi.
Saking cintanya Emi pada kebaya, saat menghadiri wisuda putrinya di Amerika Serikat, ia dan putrinya memakai kebaya. Bahkan, ia telah menyiapkan tema adat Jawa pada pernikahan putrinya dengan calon suaminya yang merupakan warga negara Amerika Serikat pada Oktober 2024.
“Pengantin, keluarga dan seluruh tamu undangan sekitar 150 orang wajib mengenakan kebaya dan beskap bagi yang laki-laki saat acara pemberkatan di New York. Saya menabrak tradisi keluarga yang biasanya mengenakan pakaian western untuk acara pernikahan,” ujarnya.
Bagi Emi, kebaya bukan sekedar pakaian yang dikenakan perempuan Indonesia, melainkan juga pakaian yang memiliki filosofi yang dalam sebagaimana yang diturunkan oleh para leluhur.
“Dengan memakai kebaya itu hati dan pikiran adem / tenang. Kemudian proper, terlihat pantas atau sesuai norma dari sisi behaviour dan attitude. Dengan memakai kebaya, otomatis jalan kita lebih kalem, cara duduk kita tegak, tutur kata kita baik dan tidak marah-marah,” tegas Emi yang tengah menyelesaikan kuliah S3 Cyber Crime di Universitas Bhayangkara, Jakarta.
Emi menambahkan, kebaya selain mencerminkan jati diri perempuan Indonesia yang anggun dan percaya diri juga berpengaruh pada produktivitas dan etos kerja. “Bayangkan ibu-ibu kita jaman dahulu, kemana-mana pakai kebaya. Beraktivitas sehari-hari, ke pasar pakai kebaya, sungguh luar biasa,” ungkap Emi yang suka dengan kebaya Kutubaru, kebaya Kerancang dan kebaya Kartini.
Kebaya Lovers!
Maraknya gerakan berkebaya akhir-akhir ini, ujar Emi yang sering mengenakan kebaya saat bertemu rekan bisnis, ke kantor ataupun ke kampus, merupakan momentum untuk kembali mengangkat kebaya dan menjadikannya busana sehari-hari.
Meskipun pada dasarnya ia suka mengenakan kebaya sesuai pakem, kebaya kontemporer yang tidak terlalu kaku dan nyaman dipakai bisa disosialisasikan terutama kepada anak muda.
“Berkebaya jangan dipaksakan. Orang bisa bebas berkebaya dengan model yang sudah dimodifikasi pun oke. Jangan sampai kebaya kita mati dan berhenti sampai ke cucu kita. Kebaya harus lestari,” kata Emi.
Tantangan yang saat ini masih menjadi “pekerjaan rumah” baik bagi pemerintah maupun komunitas adalah pentingnya membangun mindset untuk berjuang bersama-sama dengan merangkul semua lapisan masyarakat agar kembali mencintai kebaya.
“Perlu menciptakan blue print yang jelas untuk kegiatan pelestarian kebaya. Jadi harus banyak inisiatif untuk melakukan sosialiasasi. Nyatanya, ini contoh kecil, masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara kebaya dan baju kurung. Jadi perlu edukasi yang lebih serius,” kata Emi.
Emi menjelaskan, munculnya gerakan kebaya tidak bisa dipungkiri memunculkan potensi ekonomi dan menghidupkan UMKM. Dengan konsep merangkul pula, para desainer / pengusaha besar bisa membantu para pengrajin batik atau kebaya untuk meningkatkan penghasilannya.
“Misalnya, desainer bisa menjual rancangannya seharga Rp 50 juta, enggak ada salahnya ia menyisihkan dana untuk membantu penjahit atau penjual kebaya dengan membeli dagangannya,” tegas Emi. Bicara kebaya, ungkap Emi, adalah bicara tentang sense of belonging, kerjasama, merangkul, dan tidak menonjolkan diri sendiri.
“Jika kita semua memiliki kesadaran untuk mencintai budaya Indonesia, usaha melestarikan kebaya tidak akan sulit. Yuk, kita bergandengan tangan, berjuang bersama-sama, jangan memikirkan diri sendiri atau kelompoknya sendiri,” pungkas Emi. ***