• 2025-10-29
  • Vivi Putri Soewondo
  • 0

Hello Kebaya Lovers! 

BAYANGIN deh, aula megah KBRI Takhta Suci di Roma berubah jadi panggung budaya yang penuh warna dan makna. Di bawah langit Eropa, kebaya, busana Indonesia yang selalu memesona itu, menemani para penari dengan gerakannya yang anggun dan irama yang indah. Semua terjadi dalam acara Pentas Budaya KBRI Takhta Suci, Sabtu (24/10), yang kali ini menggandeng Komunitas Kebaya Menari.

Acara ini bukan cuma sekadar pertunjukan seni. Ini adalah bagian dari perayaan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Takhta Suci, dan pesan yang dibawanya sungguh kuat: keragaman bisa bersatu dalam keindahan.

“Kebaya itu bukan sekadar kain, tapi simbol kemanusiaan.” Begitu kata Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang hadir langsung di acara itu. Menurutnya, penampilan Komunitas Kebaya Menari mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu.

Sementara Duta Besar RI untuk Takhta Suci, Michael Trias Kuncahyono, menambahkan, kiprah Komunitas Kebaya Menari adalah contoh nyata wajah Indonesia yang penuh keberagaman agama dan budaya. “Komunitas ini memperlihatkan realitas Indonesia yang interfaith,” katanya.

Bayangin, di tengah para diplomat, rohaniwan, dan diaspora Indonesia, kebaya jadi bahasa universal: lembut, elegan, tapi penuh makna.

Tentang Komunitas Kebaya Menari

Dipimpin oleh Yanti Muljono, Komunitas Kebaya Menari bukan sekadar kelompok penari. Mereka adalah pegiat budaya yang punya misi keren: mempopulerkan kebaya lewat tarian.

Dengan gerak yang anggun dan ekspresif, mereka ingin mengajak perempuan Indonesia mulai dari ibu-ibu sampai generasi muda untuk bangga mengenakan kebaya. Bukan hanya saat kondangan atau wisuda, tapi juga untuk aktivitas harian seperti ke kantor, belanja, bahkan traveling.

Karena buat mereka, kebaya bukan cuma busana masa lalu. Ia adalah simbol kesederhanaan, kesabaran, dan penghormatan terhadap budaya. Sesuatu yang timeless.

Tarian sebagai Bahasa Persatuan

Di Roma, Komunitas Kebaya Menari menampilkan tiga tarian yang merepresentasikan keberagaman agama di Indonesia:

  • Tari Zapin dari Riau – bernuansa Islam, penuh gerak cepat dan lincah, hasil akulturasi budaya Melayu, Arab, dan Persia.

  • Tari Legong Bapang Durga dari Bali – berakar dari budaya Hindu, dengan gerak halus namun kuat, menggambarkan ketegasan dan kelembutan Dewi Durga.

  • Tari Bedhaya Ura-Ura dari Jawa – merepresentasikan spiritualitas Katolik, tampil gemulai dan meditatif, seolah membawa penonton ke suasana sakral khas keraton.

Ketiganya dibawakan para penari dan membuat hadirin terpukau. Bukan hanya karena geraknya, tapi karena pesan yang dibawa: di tengah perbedaan, ada harmoni.

Seni, Budaya, dan Cinta Indonesia

Nggak lengkap dong acara budaya tanpa kuliner! Para tamu undangan juga dimanjakan dengan sajian makanan khas Indonesia seperti rawon, mi goreng, tahu goreng, martabak, dan lapis Surabaya. Aroma dan rasanya bikin rindu kampung halaman. 

Yang seru, tamu-tamu asing juga diajak belajar gerak dasar tari Bali. Tantangannya? Mata harus bisa mengikuti dua jari dari arah berbeda tanpa menggerakkan kepala. Kedengarannya gampang, tapi ternyata susah banget! 

Sebagai penutup, Komunitas Kebaya Menari juga memberikan buku “Kebaya: Keanggunan yang Diwariskan” karya Miranti Serad dan Emi Wiranto, sebagai simbol pelestarian nilai dan budaya kebaya Indonesia.

Dari Roma, untuk Dunia

Pertunjukan di KBRI Takhta Suci ini bukan cuma tentang tari dan kebaya, tapi tentang bagaimana perempuan Indonesia bisa jadi duta budaya di panggung dunia.

Kebaya menari di Roma, dan lewat setiap geraknya, dunia diingatkan bahwa di balik kain dan lipitnya, ada cerita tentang identitas, cinta, dan perdamaian.

Dan kalau kebaya bisa bicara, mungkin ia akan berbisik: “Aku bukan hanya pakaian. Aku adalah jiwa Indonesia yang menari di mana pun berada.” ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *